Membebaskan Diri dari Penjara Otodidak
Malam di bengkel selalu punya bahasa sendiri. Jarum yang tenang di alat ukur, cahaya lampu meja, dan suara napas kita yang pelan—semua itu seakan mengingatkan: ada batas antara doa dan kenyataan. Angka takbisa dibohongi, mesin takpandai bersandiwara.
Belajar sendiri, otodidak, memang jalan yang mulia. Ia memberi kebebasan yang jarang bisa ditukar dengan apa pun. Kita boleh jatuh bangun, salah berkali-kali, lalu bangkit lagi dengan keyakinan bahwa kita sanggup. Tetapi jika kebebasan itu disembah, ia bisa menyesatkan. Otodidak seharusnya menjadi motor, bukan kompas. Ia mendorong langkah, tetapi arah tetap butuh penunjuk yang lebih jernih: pengalaman, catatan, teman yang berani jujur, dan kerendahan hati untuk mendengar.
Sering kita terjebak ilusi. Merasa pintar karena satu pekerjaan berhasil. Merasa paham karena terbiasa melihat satu pola. Merasa aman karena teman-teman seprofesi selalu memuji. Padahal, semua itu bisa jadi belenggu yang membuat kita gagal untuk tumbuh. Keberhasilan sesaat takselalu berarti kematangan; kadang ia hanya keberuntungan yang kebetulan bekerja.
Belajar sejatinya menuntut lebih dari sekadar mengutak-atik. Dituntut keberanian untuk jujur pada kekurangan diri. Menagih kerelaan menerima kritik yang pahit. Menuntut kesabaran mencatat hal-hal kecil yang sering dianggap remeh.
Bahasa, misalnya. Apa yang kita sebut di bengkel sehari-hari mungkin akrab, tapi apakah bisa dipahami oleh orang jauh di luar sana? Apakah istilah kita bisa nyambung dengan percakapan di dunia yang lebih luas? Bahasa bukan sekadar kata, ia adalah pintu menuju perpustakaan ilmu. Dengan bahasa yang tepat, kita tidak hanya berkomunikasi, tetapi juga mewariskan.
Akhirnya, kita sampai pada suatu kesadaran: pekerjaan ini bukanlah panggung untuk membangun mitos tentang diri kita sebagai “orang sakti”. Ia adalah tradisi yang harus dijaga dengan disiplin, kejujuran, dan rasa hormat kepada orang yang datang mempercayakan miliknya. Kita sedang menulis sebuah warisan, bukan sekadar mengejar penghasilan.
Maka mari kita jaga tangan agar sigap, pikiran jerrnih, dan hati yang tetap rendah. Semoga setiap yang kembali hidup bukan hanya menjadi tanda kecakapan kita, tetapi juga bukti bahwa kita memilih kebenaran kerja di atas kebanggaan diri.

Tidak ada komentar: